Jumat, 26 Februari 2010

CERITA SENJA

Rasanya tak bisa lagi kutahan lelahku ini. Aku lelah, sungguh aku lelah dengan semua yang terjadi padaku. Di sudut kamar ini, air mata bertetesan tak henti. Aku lelah, bukan lagi hanya lelah fisik, tapi batinku pun ikut lelah. Hati ini hancur, lebih parah daripada rasa sakit hati kehilangan cinta sang pujaan hati. Jauh lebih sakit dari itu. Aku, harus kugambarkan sedikit tentang hidupku padamu agar kamu nantinya tahu seberapa sakit yang kurasakan.
Aku seorang anak pemulung. Namaku Susanti, nama asli pemberian almarhum ibuku. Entah apa yang ingin ibu tunjukkan padaku dari nama itu. Aku tak tahu maksudnya, karna aku tak pernah sempat berbicara padanya hingga akhir hayatnya. Ku ulangi lagi, aku seorang anak pemulung. Ayahku Abdul Ahmad adalah seorang pemulung. Bisakan kalian bayangkan bagaimana kerja keras yang harus dijalani ayahku?? Untung saja almarhum ibuku meninggalkan sepetak tanah di kota metropolitan ini. Kami bisa mendirikan gubuk kecil di sana, bertempst tinggal di sana dengan segala keterbatasan yang ada. Ayahku tak pernah mengajarkanku untuk merasa malu dan berkecil hati dengan segala kurang yang ada. Bahkan ayahku tak pernah sedikitpun membiarkanku meratapi perihnya nasib yang harus kami tanggung. Ibarat bumi, aku tak akan pernah bisa hidup tanpa cahaya darinya. Sungguh sekalipun ayahku seorang yang miskin harta, tapi kebesaran jiwanya tak ada yang mampu menandingi.
Aku masih bisa bernafas lega. Sekalipun ayahku hanya seorang pemulung, tapi aku masih bisa mengenyam pendidikan. Seorang kaya yang budiman, Pak Bambang teman lama ayah, yang selama ini membiayai sekolahku. Aku sangat bersyukur bisa menikmati masa-masa indahh di bangku sekolah. Investasi yang Pak Bambang beri padaku sungguh tak pernah bisa aku balas. Tanpa bantuan itu mungkin aku hanya akan menjadi seorang anak pemulung yang menatap masa depan dengan suram.
Sekarang ini aku adalah seorang susanti anak pemulung berusia 18 tahun. Teman, akan kuceritakan padamu kenapa aku bilang hatiku hancur lebih parah dari rasa patah hati. Saat ini aku masih bersyukur karena aku masih punya ayah, sebuah gubuk tempat tinggal, beberapa buku pelajaran dan investasi pendidikan dari Pak Bambang. Sungguh rasa syukur yang begitu dalam. Aku seperti menjadi anak paling beruntung jika ingat nikmat-nikmat yang Tuhan berikan itu di tengah kerasnya hidup yang harus kujalani.. Usia 18 tahun sebenarnya menjadi usia paling buruk yang selalu aku bayangkan. Jika bisa aku memutar waktu, aku ingin usiaku tak pernah bertambah sampai 18 tahun. 18 tahun berarti masa investasi pendidikan dari Pak Bambang berakhir. Ya, karena janji beliau menyekolahkanku hanya sampai lulus SMA saja. 18 tahun berarti aku harus memendam dalam-dalam mimpiku meninggikan derajat ayah dari sekedar seorang pemulung. Harus kupendam dalam-dalam keinginanku untuk menjadi seorang dokter. Teman, cita-citaku adalah seorang dokter.
Selama ini aku berjuang keras melawan nasib yang tak pernah berpihak padaku. Selam ini, aku berjuang untuk bisa membanggakan ayahku serta membayar budi baik Pak Bambang dengan prestasi-prestasi yang aku ukir selama aku mengenyam pendidikan. Tak pernah sekalipun dalam sejarah pendidikanku nilai merah ada pada nilai-nilai ulangan dan raporku. Semua guru dan teman-temanku tak mengelak kalau aku termasuk anak yang berpotensi. Aku sangat bersyukur karena itu. Seorang anak pemulung yang diberi otak cemerlang oleh Tuhan. Aku bersyukur ayahku bangga padaku. Ah, tapi sekarang…saat teman-temanku yang lain sibuk mempersiapkan kelanjutan study mereka di perguruan tinggi, aku hanya bisa terpekur di sudut kamar. Mungkin memang harus jalan ini yang aku pilih. Hanya sekedar mengantarkan teman-teman yang bisa melanjutkan study mereka dengan doa dan senyum simpulku karena pada nyatanya, aku harus memendam rapat-rapat keinginanku untuk kuliah. Aku tak akan pernah bisa menginjakkan kaki di bangku universitas, karena aku hanya anak seorang pemulung.
Teman, inilah rasa sakit hati yang aku katakana padamu. Bisakah kalian bayangkan, ketika semangat belajar menggebu-gebu memenuhi relung hati. Ketika bara api berkobar-kobar menjilat semua benda disekelilingnya, menaklukkan apapun yang menghalanginya meraih yang ia damba, tetapi tiba-tiba hujan menghapus rata kobaran api tersebut, sirna tak bersisa. Seperti itulah keadaanku sekarang. Sungguh, hanya karena aku seorang anak penulung yang tak akan sanggup memenuhi tuntutan keuangan perguruan tinggi, aku harus melupakan semua cita-cita luhurku. Aku sadar, masih banyak cara yang bisa kutempuh untuk menggapai mimpiku, tapi rasanya ribuan jalan yang ada pun telah tertutup rapat, tak pernah memberiku kesempatan. Teman, cita-cita menjadi dokter hanya akan terjadi di imajinasiku saja, karena aku sekarang, selepas lulus SMA tak akan melanjutkan pendidikan. Ini bukan hanya sekedar siratan rasa pesimis yang membuncah. . . tapi juga ratapan tangis hati atas semua hal yang ada. Aku masih ingin kuliah, aku masih ingin menimba ilmu, aku masih ingin mewujudkan cita-citaku.
Tuhan. . .tak ada tempat lain bagiku untuk mengadukan segala kegundahan hati ini, pada siapa lagi harus kuteriakkan dengan lantang dan tegas bahwa “ AKU INGIN KULIAH !!!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar